"Nak, kamu dimana?"
Begitu pertanyaan yang sering kudengar jika seorang Ibu/Ayah mencari anaknya. Kali ini saya akan menyinggung kepada anak rantau. Mereka yang rantau ke luar Indonesia, luar sulawesi, luar daerah, sampai mereka yang memang jarang ada dirumah meskipun tak sedang merantau. Anak rantau memang anak yang sedikit istimewa. Mereka kerap kali dirindukan. Hadirnya sangat dinanti. Namun,terkadang mereka tidak sadar diri. Ada beberapa point penting terkait jawaban pertanyaan diatas.
Yang pertama, Anaknya akan menjawab. Maaf Bu/Ayah, saya tidak pulang saat ini. Pernyataan ini cukup sederhana menurut kalian dan tak berarti apa-apa, namun taukah kalian? Ibu kita merasa sedih mendengarnya. Dalam hatinya berkata, padahal Ibu sudah sangat rindu denganmu. Firasat ini kuyakini karena Ibu saya sendiri yang mengatakannya dan juga saya seorang perempuan, pasti merasakan hal yang sama, jika orang yang kau nanti tak sempat hadir. Saya bertanya lagi, Ibu baik-baik saja? Yahh dia menjawab saya baik-baik saja dengan wajah yang ragu. Pernahkah kalian sadari, kalian ini jarang dirumah. Tidak rindukah kalian dengan Ibu, Ayah dan saudara-saudara kalian? Tidak mau kah kalian menghabiskan waktu bersama kami lagi? Bercerita sambil meminum teh panas. Haduh. Betapa teduhnya moment itu.
Yang kedua, Anaknya akan menjawab. Iya Bu, saya akan pulang beberapa menit lagi. Pernyataan sederhana juga namun seringkali kita hiraukan. Tidak berfikirkah kalian? Betapa khawatirnya orang tua kita saat menerima kabar tersebut. Mereka selalu berdoa agar perjalanan kalian lancar. Kalian dijauhkan dari bahaya dan sampai dengan selamat. Tidak sadarkah kalian? Saat itu kalian sedang menguji batinnya? Mereka beraktivitas dengan cemas. Sampai saat suara kendaraan kalian terdengar didepan pagar. Barulah mereka melepas lega. Saran saya, bergegaslah pulang setelah habis sibukmu dan sebelum mereka menghubungimu. Biasakan dirilah, hal-hal sederhana yang membuatnya nyaman? Kenapa tidak? Jangan membuat mereka resah. Lakukanlah.
Yang ketiga Anaknya akan menjawab, Iya Bu,saya sudah dijalan. Jawaban ini jawaban yang dapat menenangkan hatinya. Mereka lega karena sang buah hati sudah menyelesaikan aktivitasnya dan bergegas untuk kembali kerumah. Sesampainya didepan pagar, Ibu/Ayah kita menyambut dengan lembut kehadiran kalian. Namun, tiba-tiba telpon genggam mu berdering. Kalian lupa bahwa hari ini ada acara bersama kawan dan moment ini jarang terjadi.Jadi kalian bersemangat untuk hadir. Kalian pun meminta izin. jawaban orangtua pastilah tidak mengizinkan. Tapi demi membuat kalian bahagia, mereka rela melepas. Betul. Kalian gembira dan bersegera berkemas. Terlukis lagi raut wajah kesedihan yang dengan sengaja disembunyikan.
Terkadang saya kecewa tanpa harus tau karena apa dan kepada siapa. Saya terkadang cemburu. Ingin menjadi anak rantau yang dirindu. Tidak terbesitkah dibenak kalian tentang suara hati mereka? Mereka mengharap penuh, waktu yang kalian luangkan untuk mereka. Mereka memberikan kebebasan untuk mengejar cita-cita. Tapi ternyata mereka juga bercita-cita untuk menghabiskan waktu lebih lama bersama kita, anak-anaknya. Mengapa kalian tidak mau mewujudkan harapannya? Tinggallah dirumah. Bercengkramalah dengan mereka. Batalkan agenda yang menurut kalian tak terlalu penting. Kalian sudah dewasa. Sudah bisa mengatur skala prioritas masing-masing. Jadikan mereka utama. "Tapikan aku sudah mengatur pertemuanku dengan kawan lama? Tapikan aku sudah merancang temu jauh hari dengan kekasihku?" Lagipula hanya ini kesempatanku bertemu dengan mereka karena nanti aku sudah merantau lagi". Yah bisa kau lakukan. Tapi ingat, Ibu/Ayah juga sudah merancang temu dengan mu. Tahan dirimu, Sekarang saatnya menjadi remaja yang berbakti. Menjadi remaja yang membuat orangtuanya bangga dengan pengorbanan kecilmu. Soal pertemanan dan kesenangan? Kalian jangan khawatir. Teman yang menganggapmu payah tak pantas disebut teman. Kesenangan bertemu dengan kekasih? Batalkan! Orangtualah kekasih yang harusnya kau bahagiakan. Kerumahlah.
Hidup itu pilihan. Pilihlah mereka yang memilihmu.
Semoga bermanfaat.
#Selfreminder
Dari suara yang mereka pendam.
Bulukumba, 30 Des 17
Alifah Nurkhairina, 23.17 WITA.
Sabtu, 30 Desember 2017
Minggu, 24 Desember 2017
Bagian Dua: Matamu, melemahkanku.
Setelah terjadi beberapa pertemuan singkat. Kita mulai akrab. Tapi dalam diam. Aku masih betah menikmati indahmu. Jangan khawatir kau masih prioritas.
Pemandangan tak biasanya. Siang itu terik menghujani. Aku tengah berjelajah dengan segelas minuman dingin. Tak sengaja kau berada tepat di depanku. Kau menutupi jalanku dengan elokmu. Kau kaget, aku? Sudah jelas reaksiku. Diam. Terpaku mencoba menatap matamu lebih tajam. Aku melintas menuju kearahmu. Belum ku lepas pandanganku, ntah karena apa. Aku hanya suka melihatmu lebih lama. Namun tiba-tiba saat kita berada di koordinat lintang yang sama, kau mengarahkan pandangan itu. Tepat pada tatap yang sama. Mengenai hati yang telah lama ingin disapa. Oh nooooo! Ah tapi aku diam, biasa saja. Setelah aku beranjak barulah aku teriak, aku sudah bilang aku tidak ingin kau tau. Hey, Mas boleh kau ulang? :')
Siang itu menjadi siang yang berbeda. Terik tadipun tak ada artinya, karena dinginmu sudah menyentuh. Tak ku dapatkan apa makna senyummu tadi, yang jelas aku girang sejadi-jadinya. Di tempatku berbaring sekarang aku hanya butuh ruang untuk mengingat kejadian tadi. Aku hanya butuh ruang untuk berteriak lebih kencang. Aku hanya butuh ruang untuk bercengkrama dengan rembulan tentang senyum mu. Kubilang pada semesta bahwa aku bahagia. Tapi dinding kamarku tetap saja disana, tak berpindah tempat. Padahal setiap malamnya dia melihatku seperti ini; Senyum sendiri, Merona seorang diri. Untuk guling, maaf aku memelukmu terlalu erat.
Tadi malam kau berwisata lagi. Kau menyusuri malamku. Kau mulai menembus mimpiku. Senyuman itu tetap sama apalagi tatapmu. Aku terlalu memikirkanmu. Bisakah kau kesini, tepat disampingku? Karena jika kau betah dikhayalku aku tak bisa lebih lama menghabiskan waktu denganmu. Bisakah kau nyata?
Gowa, 2017.
Alifah Nurkhairina.
Pemandangan tak biasanya. Siang itu terik menghujani. Aku tengah berjelajah dengan segelas minuman dingin. Tak sengaja kau berada tepat di depanku. Kau menutupi jalanku dengan elokmu. Kau kaget, aku? Sudah jelas reaksiku. Diam. Terpaku mencoba menatap matamu lebih tajam. Aku melintas menuju kearahmu. Belum ku lepas pandanganku, ntah karena apa. Aku hanya suka melihatmu lebih lama. Namun tiba-tiba saat kita berada di koordinat lintang yang sama, kau mengarahkan pandangan itu. Tepat pada tatap yang sama. Mengenai hati yang telah lama ingin disapa. Oh nooooo! Ah tapi aku diam, biasa saja. Setelah aku beranjak barulah aku teriak, aku sudah bilang aku tidak ingin kau tau. Hey, Mas boleh kau ulang? :')
Siang itu menjadi siang yang berbeda. Terik tadipun tak ada artinya, karena dinginmu sudah menyentuh. Tak ku dapatkan apa makna senyummu tadi, yang jelas aku girang sejadi-jadinya. Di tempatku berbaring sekarang aku hanya butuh ruang untuk mengingat kejadian tadi. Aku hanya butuh ruang untuk berteriak lebih kencang. Aku hanya butuh ruang untuk bercengkrama dengan rembulan tentang senyum mu. Kubilang pada semesta bahwa aku bahagia. Tapi dinding kamarku tetap saja disana, tak berpindah tempat. Padahal setiap malamnya dia melihatku seperti ini; Senyum sendiri, Merona seorang diri. Untuk guling, maaf aku memelukmu terlalu erat.
Tadi malam kau berwisata lagi. Kau menyusuri malamku. Kau mulai menembus mimpiku. Senyuman itu tetap sama apalagi tatapmu. Aku terlalu memikirkanmu. Bisakah kau kesini, tepat disampingku? Karena jika kau betah dikhayalku aku tak bisa lebih lama menghabiskan waktu denganmu. Bisakah kau nyata?
Gowa, 2017.
Alifah Nurkhairina.
Langganan:
Postingan (Atom)