Minggu, 24 Desember 2017

Bagian Dua: Matamu, melemahkanku.

Setelah terjadi beberapa pertemuan singkat. Kita mulai akrab. Tapi dalam diam. Aku masih betah menikmati indahmu. Jangan khawatir kau masih prioritas.

Pemandangan tak biasanya. Siang itu terik menghujani. Aku tengah berjelajah dengan segelas minuman dingin. Tak sengaja kau berada tepat di depanku. Kau menutupi jalanku dengan elokmu. Kau kaget, aku? Sudah jelas reaksiku. Diam. Terpaku mencoba menatap matamu lebih tajam. Aku melintas menuju kearahmu. Belum ku lepas pandanganku, ntah karena apa. Aku hanya suka melihatmu lebih lama. Namun tiba-tiba saat kita berada di koordinat lintang yang sama, kau mengarahkan pandangan itu. Tepat pada tatap yang sama. Mengenai hati yang telah lama ingin disapa. Oh nooooo! Ah tapi aku diam, biasa saja. Setelah aku beranjak barulah aku teriak, aku sudah bilang aku tidak ingin kau tau. Hey, Mas boleh kau ulang? :')

Siang itu menjadi siang yang berbeda. Terik tadipun tak ada artinya, karena dinginmu sudah menyentuh. Tak ku dapatkan apa makna senyummu tadi, yang jelas aku girang sejadi-jadinya. Di tempatku berbaring sekarang aku hanya butuh ruang untuk mengingat kejadian tadi. Aku hanya butuh ruang untuk berteriak lebih kencang. Aku hanya butuh ruang untuk bercengkrama dengan rembulan tentang senyum mu. Kubilang pada semesta bahwa aku bahagia. Tapi dinding kamarku tetap saja disana, tak berpindah tempat. Padahal setiap malamnya dia melihatku seperti ini; Senyum sendiri, Merona seorang diri. Untuk guling, maaf aku memelukmu terlalu erat.

Tadi malam kau berwisata lagi. Kau menyusuri malamku. Kau mulai menembus mimpiku. Senyuman itu tetap sama apalagi tatapmu. Aku terlalu memikirkanmu. Bisakah kau kesini, tepat disampingku? Karena jika kau betah dikhayalku aku tak bisa lebih lama menghabiskan waktu denganmu. Bisakah kau nyata?

Gowa, 2017.
Alifah Nurkhairina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar