Kamis, 02 Januari 2020

Desa Ara, dan segala kejutannya.

Bismillah..

Seperti dua tahun lalu, Bulukumba kupilih kembali untuk menutup akhir tahunku dan memulai tahun yang baru. Namun, ada beberapa pengalaman baru yang tentunya lebih berkesan pada kali ini.

Lokasi perjalanan. 
Desa Ara, Bulukumba. 


Perjalanan dimulai saat waktu itu, saya sedang memainkan gadgetku. Seperti remaja pada umumnya, saya melihat-lihat story dari teman-teman di akun media sosialnya. Mereka membagikan beberapa cuplikan liburan melalui unggahan video ataupun melalui beberapa foto. Seketika itu muncul ide untuk pergi juga melepaskan lelah. Lalu kuhubungi sepupuku untuk bersedia menjadi pemandu wisataku. (Kak Hesty, Okky dan Nurul serta satu orang temanku)

Dari kiri ke kanan
(kak Hesty, Nurul, Okky, Asrul, Ina) 


Seperti yang kita tahu, Bulukumba adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang memiliki daya tarik tersendiri melalui panorama alamnya yang indah. Dikenal dengan suguhan pantai-pantai pasir putih yang khas, yang mulai bermunculan menjadi objek wisata dan mulai dikunjungi oleh masyarakat bahkan sampai turis mancanegara. Membuat Bulukumba semakin ramai oleh wisatawan dan bisa dijadikan sebagai sumber matapencaharian oleh warga sekitar.

dan kebetulan, saya memiliki keluarga yang bermukim di Desa Ara, Kecamatan Bontobahari (lokasi bisa dicek di googlemaps). Saya lalu berfikir untuk bersilaturahmi sekalian liburan.

Singkat cerita, sampailah saya ditanah kelahiran Ayahku (Desa Ara). Selesai sholat ashar, saya lalu memulai perjalanan dengan mengunjungi rumah sanak saudara. Beberapa dari mereka masih ada yang mengenal baik, beberapa pula masih mengingat meski harus dengan penjelasan (misalnya, saya ini anaknya daeng ... cucunya daeng.... dan sebagainya)

dan respon mereka yang paling Saya ingat adalah

"ih lomponamo ke' Ina heh, dulu kecil-kecil inji wattuna datang kesini" (artinya ih kamu sudah besar, Ina. dulu waktu datang kesini masih kecil-kecil). kurang lebih seperti itu.

Saya hanya membalasnya dengan senyuman dan sedikit tertawa. Dalam hati saya berkata wajar saja, sudah 6 tahun saya tidak berkunjung lagi kesini.

Satu hal yang saya senangi dari kunjungan adalah perlakuan tuan rumah yang begitu baik terhadap tamunya. Suguhan teh dan kue-kue khas sulawesi selatan, dilengkapi cerita-cerita masa lalu dari keluarga besar menambah hangat kunjungan, dan saya cukup antusias. Beberapa keluarga yang baru saya kenal, kemenakan, omtante, sepupu dan bahkan cucu hehe..

Hari kedua, saya memilih untuk berenang di Permandian Limbua di Desa Hila-hila, Kecamatan Bontotiro. Yang membedakan permandian Limbua ini dibanding objek wisata yang lain adalah lokasinya yang berada disekitar hutan dan berhadapan langsung dengan pantai Samboang. Saya bersama ketiga sepupuku, memilih datang lebih pagi untuk menghindari keramaian pengunjung. dan betul saja, dugaan kami benar.

Permandian Limbua, Desa Hila-hila, Kecamatan Bontotiro. 


Selepas itu, kami bersiap untuk menelusuri objek wisata selanjutnya. Namun, rupanya mendung tiba-tiba terganti oleh rintik hujan yang semakin lama semakin deras. Sehingga perjalanan selanjutnya harus ditunda. Memanfaatkan situasi dirumah, sayapun diperlihatkan foto-foto lawas melalui sebuah album foto. Banyak wajah-wajah yang agak sulit kukenali dan beberapa juga bisa kutebak. Foto kakeknenek, ayahmama, kakaadik, omtante, sepupu dan masih banyak lagi. Beberapa diantaranya kuabadikan kembali melalui kamera ponsel untuk kuperlihatkan ke mereka yang wajahnya ada dipotret foto lawas.

Hujan pun reda. Allah mengizinkan saya melanjutkan perjalanan di Butta Panrita Lopi (artinya tanah para ahli pembuat perahu phinisi). Destinasi selanjutnya ke pantai Mandala Ria. Keunikan dari pantai ini adalah di pesisir pantai terlihat barisan kapal phinisi yang sedang dalam tahap pengerjaan. Sehingga, selain berlibur dipantai kita juga bisa menambah wawasan tentang kapal phinisi atau semacamnya. Boleh dengan melihat-lihat langsung proses pengerjaannya ataupun melalui wawancara kepada para pembuat kapalnya. Saya juga sempat bercerita dengan pemuda lokal yang juga ternyata sebagai mahasiswa di Universitas di Makassar tapi masih menjunjung tinggi kearifan lokal. Hal ini kutandai dengan masih adanya keinginan untuk kembali kekampung halaman sendiri dan memikirkan hal-hal baik untuk masa depan desanya. Selain itu, mereka juga masih sangat fasih dengan bahasa Konjonya (Bahasa khas warga sekitar). Kami berdiskusi disalah satu kapal phinisi yang masih setengah jadi, dengan latar belakang pantai Mandala Ria.

Tempat diskusi, Salah satu kapal phinisi yang masih setengah jadi. 

Kondisi jalan terkini, menuju Pantai Mandala Ria. 


Hari ketiga. Sebenarnya saya harusnya sudah kembali ke Bulukumba kota. Tapi apalah daya, saya masih penasaran dan masih ingin berjelajah. Hari ketiga ini kumulai menuju Apparalang di Desa Ara, Kecamatan Bontobahari. Tempat wisata bahari ini memiliki hamparan tebing yang menjulang tinggi dan memiliki batu karang yang alami. Tetapi apparalang ini tidak memiliki pesisi (pasir  pantai).
Tak lupa pula, setelah menikmati keindahan alamnya, saya mengabadikan perjalanan dengan berfoto, yahh supaya bisa diupload ke media sosial dan juga disimpan sebagai bukti bahwa saya pernah menginjakan kaki disini.

Dan kalau beruntung, setelah di share ke akun medsos biasanya ada yang berkomentar "orang bulukumba? Satu kampungki pale itu ternyata" Hehe..




Lanjut, ke Goa Passea (Goa penderitaan) di Desa Lembanna, Kecamatan Bontobahari. Masih awam kedengarannya, tapi saya yakin beberapa tahun kedepan pasti akan ramai dengan pengunjung. Dibuktikan dengan jalan yang mulai teraspal karena memang sebelumnya infrastruktur jalan yang kurang mendukung untuk mengakses objek wisata di Bulukumba. Perjalanan menelusuri Goa Passea ini dipandu oleh Kak Adit (senior dikampus, sekaligus keluarga ternyata). Hanya beberapa menit disana. Sekedar mengambil gambar dan menelusuri didaerah yang masih terang oleh bantuan cahaya matahari. Didalam goa tersebut, kita menemukan berbagai macam keindahan jaman peninggalan prasejarah, seperti sisa kendi, guci peninggalan negara luar serta peti mati dan tulang belulang milik manusia purba yang masih asli dan terjaga kelestariannya. Karena keterbatasan waktu dan tenaga, dan kebetulan juga adzan dzuhur sudah berkumandang, akhirnya kamipun bergegas pulang. Untuk lebih jelasnya tentang Goa ini silahkan kunjungi website ini  (http://www.kampungide.com/2016/12/jalan-jalan-ke-gua-passea-gua-passea.html

Di pintu Goa Passea, diabadikan oleh Kak Adit

Perjalanan kemudian terhenti, saat orang dirumah tiba-tiba menghubungi. Lewat panggilan ponsel, terdengar suara tanteku. "kapan pulang? nacari teruski mama aji ini" (artinya kapan pulang? Mama aji mencari keberadaanmu). Mama aji itu adalah sapaan untuk nenek saya.

Saya jawab, iya ini sudah mau pulang, untuk menenangkan perasaan nenekku. Meski sebenarnya masih mau lebih lama disini.

Jarak antara Desa Ara dengan rumah tanteku di kota adalah sekitar 25 km. Saya meninggalkan Desa Ara sekitar pukul 16.15. Setibanya dikota, saya langsung menemui nenekku agar dia tau bahwa cucunya sudah pulang. Sayapun sebenarnya sangat rindu beliau.

Seperti biasa, saya sangat suka bercerita dan beliau pun juga siap mendengar ceritaku selama disana. Dengan bantuan hasil jepretan di ponselku, saya menceritakan kisah-kisah sebelum dan sesudah pengambilan gambar itu. Terkadang beliau merespon dengan senyuman, sedikit tertawa dan satu kali kuliat matanya berkaca-kaca. Iya, saat kuceritakan tentang orang-orang terdekat yang sudah berpulang ke Rahmatullah. Terutama suami dan anak bungsunya yaitu tanteku atau lebih akrab kusapa "Ummi" (http://alifahnurkhairinaa.blogspot.com/2015/01/dedikasi-buat-ummi.html)

Perjalanan ini cukup beda. Setelah ini, saya lebih tertantang untuk mengenal lebih jauh sanak keluarga (Keluarga dari Ayah) setelah beberapa tahun ini sudah jarang terkunjungi. Semoga saja bisa terwujud, dikemudian hari..

Terima kasih atas orang-orang baik yang sudah terlibat dan membantu mempermudah langkahku kali ini. Sampai jumpa lagi, dilain hari..

Jika terdapat kesalahan dalam informasi terutama informasi destinasi wisata, mohon dimaafkan dan dikoreksi. Segala kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penulisan bisa dibantu dengan meninggalkan komentar dan share dipostingan ini. Komentar apapun sangat membantu kecuali komentar yang berbau SARA.

Terima kasih telah bersedia membaca ini, orang-orang baik.


#Alifah Nurkhairina
#Bulukumba, 02-01-2020
Ditulis pukul 21.05-22.46 WITA