Jumat, 20 Oktober 2023

OPINI: Konflik Timur Tengah, Literasi Bisa Apa?

Tribun Timur edisi 18 Oktober 2023


Belakangan ini, gejolak antara Palestina dan Israel kembali memanas. Bukan hanya pasukan bersenjata yang terlibat dalam perang, tetapi juga para warga sipil seperti wanita dan anak-anak yang ikut menjadi korban. Tidak sedikit kerugian materi dan jatuhnya korban jiwa yang menimpa keduanya akibat konflik yang telah berlangsung sejak tahun 1940an. 

Berita-berita nasional maupun luar negeri berlomba-lomba untuk mengangkat konflik yang sedang hangat ini. Masing-masing lebih cenderung kepada salah satunya atau bahkan mengambil jalan tengah untuk cari aman. Berita yang kita saksikan setiap harinya dalam layar kaca menyuguhkan data-data terkait berapa jumlah korban, berapa kerugian yang dialami, serta apasaja persiapan kekuatan yang dimiliki oleh masing - masing wilayah. Kelirunya, kita terlalu cepat percaya dengan statement yang diberitakan melalui siaran tanpa meninjau sudut pandang lainnya.

Perlu diketahui bahwa data-data yang ditampilkan dalam layar kaca kadang kala tidak sesuai dengan fakta dilapangan. Selain karena sumber informasi yang berbeda, hal ini mungkin saja bertujuan untuk menggiring opini masyarakat agar lebih memihak kepada Palestina, Israel atau tidak keduanya.  

Ketidaksesuaian fakta yang ada dilayar kaca dengan fakta di lapangan membuat kita penasaran dan mulai berupaya untuk menggali lebih jauh informasi lengkapnya sebagai penyeimbang atau pembanding. Kebanyakan kita cenderung mencari informasi dimedia sosial, karena saat ini media sosial menjadi sumber informasi tercepat dan mudah diakses oleh siapapun. Terlebih dizaman yang kecanggihan teknologinya sudah tidak diragukan lagi, memperoleh informasi dari berbagai sumber dapat dilakukan hanya dengan klik klik sana sini.

Menanggapi ini, salah satu yang bisa dimanfaatkan adalah literasi dan pengendalian media sosial. Perlu diketahui bahwa keduanya bisa saling terkait dan menciptakan kekuatan untuk bisa mempengaruhi. Kita pasti akan mulai mencari tau tentang mengapa konflik ini bisa terjadi, siapa yang berpeluang akan memenangkan peperangan nanti, atau apa yang terjadi ketika perang telah usai? 

Kita bisa memulainya dengan membaca sejarah dan meriset sendiri bagaimana kaitannya dengan kondisi saat ini. Belajar dari sejarah, pun termasuk literasi. Mempelajari sejarah bukan hanya menghapalkan nama, tempat, waktu, dan kondisi pada saat kejadian, tetapi tentang bagaimana belajar dari pengalaman yang lalu agar sejarah kelam tidak terulang lagi. 

Literasi bisa membuat orang berubah. Kita bisa mempengaruhi cara berpikir seseorang bahkan hanya dengan tulisan. Meskipun demikian, tentu kita harus pandai memilah, mana tulisan yang bisa mendatangkan kebaikan atau malah justru akan membunuh karakter penulisnya secara perlahan.

Pernyataan tersebut membuat kita sadar bahwa perang tidak hanya terjadi secara langsung atau secara fisik saja, melainkan sudah merambah ke dunia maya. Adu argument sana sini, membangun opini, fakta yang dibolakbalik, sudah tidak tabu lagi dalam media sosial yang hampir tidak lepas dari pantauan. 

Tidak kalah sengit, perang dunia maya atau perang literasi ini juga memiliki dampak yang perlu diperhitungkan ketika memiliki massa yang banyak. Hal ini membuktikan bahwa literasi juga ikut mengambil peran dalam konflik yang menyita seluruh perhatian dunia. Tidak sedikit pula yang menjadi korban dalam perang literasi ini, tentu saja mereka adalah netizen - netizen yang kurang informasi dan mudah terpancing oleh argument yang tidak sesuai data dan fakta.

Hal inilah yang kemudian bisa dijadikan sebagai senjata untuk ikut serta terlibat dalam peperangan Palestina-Israel. Kita tidak perlu lagi bersusah payah untuk melangkahkan kaki ke daerah konflik, menghadirkan raga kita dengan niat membela kebenaran dan kemanusiaan. Sekarang kita bisa memaksimalkannya melalui media sosial, membuat postingan yang bermanfaat, membuat tulisan-tulisan yang bisa menggugah hati seseorang untuk mempengaruhi arah pandangannya. 

Serangan seperti ini tidak boleh dianggap remeh, sebab kita ketahui bahwa masih banyak orang yang tidak mampu membedakan mana berita fakta dan mana berita hoaks. Situasi seperti ini bisa dimanfaatkan dan dinilai mampu menghimpun pemikiran seseorang bahkan bisa mengendalikan keberpihakannya.



Pada intinya, literasi saat ini punya kekuatan tersendiri, terlebih diera teknologi yang kecanggihannya sudah tidak bisa dianggap payah lagi. Tinggal bagaimana cara kita membijaksanai, akankah sesuai dengan target kebaikan yang ini dicapai, atau malah mendatangkan hal-hal buruk yang tidak pernah terpikir sama sekali. Meski begitu harus tetap optimis, dan tetaplah menulis.

Tinggal kita lihat saja, pendukung mana yang lebih jitu strateginya dalam berliterasi dan mengendalikan berita-berita yang ada dimedia sosial. Pendukung siapa yang lebih hebat ‘menggoda’ netizen untuk percaya pada statementnya. Semoga kedamaian yang dirindukan oleh anak manusia segera nyata adanya.